Pukul 1.45 pagi
“Fire! Fire! Cepat tembak, raksasa dah makin dekat.”
“Sembunyi belakang sini, lekas adik.”
“Baik.”
Adik dan abang pun berlari bersembunyi di belakang meja. Menjengukkan kepala melihat raksasa yang dicipta sendiri dalam minda mereka.
“Adik, raksasa dah hilang.”
“Baik-baik, nanti dia datang lagi. Jaga-jaga, api dari mulutnya bahaya.”
“Mana pergi Ultraman ni.”
“Sungguh, Ultraman Cosmos pun tak sampai-sampai lagi.”
“Jom, kita lari ke ruang tamu, mari.”
“Baik, ambik senapang abang tu. Nanti raksasa pijak.”
Berlarilah dua beradik itu ke ruang tamu sambil membawa senapang getah yang sudah tidak sempurna sifatnya (muncung senapang sudah patah).
“Mari sini, kita tunggu di sini,” panggil abang.
“Nanti, lampu tak pasang, kelam.”
“Ok adik, pasang lampu dulu. Boleh nampak raksasa yang datang.”
Adik menarik kerusi getah berwarna putih, diletakkan dekat dengan kawasan suis, memanjat kerusi dan memasang lampu.
“Yah, dah cerah. Kita tunggu raksasa tu di sini,” sahut abang.
“Adik, sembunyi sini.”
“Mana Power Rangers ni?”
“Power Rangers tak datang kalau ada Ultraman.”
“Ultraman pun tak ada, siapa yang nak lawan raksasa ni.”
“Mari kita lawan.”
“Yeah, dus, tom, tom, dus, ambik kau,” abang menggayakan orang berlawan dengan menggawangkan senapang yang tidak cukup sifat itu. Adik menggayakan perkara yang sama…
“Yeah, huh, jeng, jeng, dus, boom, boom.”
“Jaga, raksasa dah bangun. Jaga raksasa datang sini.”
Ada makhluk melangkah masuk.
“Abang, itu bukan raksasa. Itu ayah kita, apalah abang ni, ayah pun kata raksasa.”
“Siapa nak tidur ni…”
“Nantilah ayah…”
“Esok kan nak pi rumah mak (pengasuh), nanti tak bangun pagi.”
“Adik bangun.”
“Abang pun bangun.”
Bermainlah dua beradik itu dengan hero-hero dongengan mereka. Power Rangers, Ben10, Ultraman Taro, Ultraman Cosmos, yeah sampai tak tau pukul berapa nak tidur…
“Mainlah anak-anak, ayah tunggu. Esok-esok bila sudah besar, sudah tidak ada lagi pengalaman ini,” Dee bermonolog sendirian.
2.15 pagi
“Fire! Fire! Cepat tembak, raksasa dah makin dekat.”
“Sembunyi belakang sini, lekas adik.”
“Baik.”
Adik dan abang pun berlari bersembunyi di belakang meja. Menjengukkan kepala melihat raksasa yang dicipta sendiri dalam minda mereka.
“Adik, raksasa dah hilang.”
“Baik-baik, nanti dia datang lagi. Jaga-jaga, api dari mulutnya bahaya.”
“Mana pergi Ultraman ni.”
“Sungguh, Ultraman Cosmos pun tak sampai-sampai lagi.”
“Jom, kita lari ke ruang tamu, mari.”
“Baik, ambik senapang abang tu. Nanti raksasa pijak.”
Berlarilah dua beradik itu ke ruang tamu sambil membawa senapang getah yang sudah tidak sempurna sifatnya (muncung senapang sudah patah).
“Mari sini, kita tunggu di sini,” panggil abang.
“Nanti, lampu tak pasang, kelam.”
“Ok adik, pasang lampu dulu. Boleh nampak raksasa yang datang.”
Adik menarik kerusi getah berwarna putih, diletakkan dekat dengan kawasan suis, memanjat kerusi dan memasang lampu.
“Yah, dah cerah. Kita tunggu raksasa tu di sini,” sahut abang.
“Adik, sembunyi sini.”
“Mana Power Rangers ni?”
“Power Rangers tak datang kalau ada Ultraman.”
“Ultraman pun tak ada, siapa yang nak lawan raksasa ni.”
“Mari kita lawan.”
“Yeah, dus, tom, tom, dus, ambik kau,” abang menggayakan orang berlawan dengan menggawangkan senapang yang tidak cukup sifat itu. Adik menggayakan perkara yang sama…
“Yeah, huh, jeng, jeng, dus, boom, boom.”
“Jaga, raksasa dah bangun. Jaga raksasa datang sini.”
Ada makhluk melangkah masuk.
“Abang, itu bukan raksasa. Itu ayah kita, apalah abang ni, ayah pun kata raksasa.”
“Siapa nak tidur ni…”
“Nantilah ayah…”
“Esok kan nak pi rumah mak (pengasuh), nanti tak bangun pagi.”
“Adik bangun.”
“Abang pun bangun.”
Bermainlah dua beradik itu dengan hero-hero dongengan mereka. Power Rangers, Ben10, Ultraman Taro, Ultraman Cosmos, yeah sampai tak tau pukul berapa nak tidur…
“Mainlah anak-anak, ayah tunggu. Esok-esok bila sudah besar, sudah tidak ada lagi pengalaman ini,” Dee bermonolog sendirian.
2.15 pagi
No comments:
Post a Comment